Beranda | Artikel
Tidak Bersuci dari Air Kencing, Namimah, Ghibah dan Menyakiti Orang Lain dengan Lisan
Kamis, 25 November 2021

Bab II
Sebab-Sebab yang Menjadikan Penghuni Kubur Diadzab

Di antara Sebab-Sebab Siksa Kubur.
3. Tidak Bersuci dari Air Kencing
4. Namimah (Mengadu Domba Orang Lain)
5. Ghibah (Menggunjing)
6. Menyakiti Orang Lain dengan Lisan
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan di dalam hadits yang shahih:
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma beliau berkata:

مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحـَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِيـنَةِ فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَـانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِيْ قُبُورِهِمَا فَقَـالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (إِنَّهُمَا لَـ) يُعَذَّبَانِ وَمَـا يُعَذَّبَانِ فِيْ كَبِيْرٍ ثُمَّ قَالَ بَلَى (وَإِنَّهُ لَكَبِيْرٌ)، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ، (وَفِيْ رِوَايَةٍ : الْبَوْلِ) وَكَانَ اْلآخَرُ يَمْشِيْ بِالنَّمِيْمَةِ ثُمَّ دَعَا بِجَرِيدَةٍ (رَطْبَةٍ)، (وَفِيْ رِوَايَةٍ: بِعَسِيْبٍ رَطْبٍ) فَكَسَرَهـَا كِسْرَتَيْنِ (وَفِـيْ رِوَايَةٍ: فَشَقَّهـَا نِصْفَيْنِ) فَوَضَعَ عَلَى كُلِّ قَبْرٍ مِنْهُمَـا كِسْرَةً فَقِيلَ لَهُ يَا رَسُولَ اللهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ تَيْبَسَا.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah kebun dari perkebunan Madinah, lalu beliau mendengar suara dua orang manusia yang sedang disiksa di dalam kubur, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘(Sesungguhnya mereka berdua benar-benar) sedang disiksa, padahal mereka tidak disiksa karena sesuatu yang berat bagi mereka.’ Lalu beliau bersabda, ‘(Tetapi sesungguhnya hal itu adalah dosa besar), adalah salah satu di antara mereka tidak menjaga dirinya dari air kencing, sedangkan yang lainnya adalah seseorang yang selalu mengadu-domba orang lain.’ Lalu Nabi menyuruh untuk mengambil sebuah pelepah yang masih basah, beliau mematahkannya menjadi dua bagian (di dalam satu riwayat: membelahnya menjadi dua bagian), lalu meletakkan satu bagian darinya pada setiap kuburan.’ Dikatakan kepadanya, ‘Wahai Rasulullah! Kenapa baginda melakukan hal ini?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Semoga batang tersebut dapat meringankan (adzab) mereka berdua selama pelepah tersebut belum kering.’”[1]

Lafazh (لاَ يَسْتَتِرُ) di dalam riwayat Ibnu ‘Asakir adalah (يَسْـتَبْرِئُ), sedangkan di dalam riwayat Abu Dawud (يَسْتَنْزِهُ).

Makna al-Istitar adalah membuat penghalang antara dirinya dan air kencing dengan sebuah penghalang, maksudnya orang tersebut tidak menjaga dirinya dari air kencing, karena itu sesuai dengan makna yang tersirat di dalam kalimat (يَسْتَنِزُهُ)

Sedangkan riwayat Abi Nu’aim di dalam kitab al-Mustakhraj (يَتَوَقَّـى), kalimat tersebut memberikan penafsiran terhadap makna yang dimaksud, sedangkan kalimat (يَسْتَبْرِىءُ) memberikan makna yang sangat kuat di dalam mengungkapkan makna (يَتَوَقَّى) “menjaga”.[2]

Lafazh (وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ), al-Khaththabi berkata, “Makna ungkapan ini adalah bahwa mereka berdua tidak akan disiksa karena sesuatu yang berat mereka lakukan, jika mereka berdua benar-benar ingin melakukannya, yakni membersihkan diri dari air kencing dan tidak mengadu domba orang lain. Dan bukan berarti bahwa kedua maksiat tersebut bukan merupakan hal yang berat di dalam agama, tidak juga bermakna bahwa kedua dosa tersebut ringan.”[3]

Al-Mundziri berkata, “Sungguh rasa takut adanya anggapan yang seperti itu dirasakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ‘Tetapi sesungguhnya hal itu adalah dosa besar.’”[4]

Telah diriwayatkan hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari banyak jalan:

Hadits Abu Bakrah Radhiyallahu anhu:

وَأَمَّا اْلآخَرُ فَيُعَذَّبُ فِي الْغِيْبَةِ

Sedangkan yang lainnya, dia disiksa karena ghibah (menggunjing).”[5]

Definisi ghibah adalah, “Menyebutkan sesuatu yang berhubungan dengan saudaramu, yang jika berita itu sampai kepadanya, maka dia akan membencinya, baik itu menyebutkan kekurangan di dalam badan, keturunan, agama, bahkan tentang pakaian, rumah atau kendaraannya.”[6]

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, di dalam sebagian riwayatnya diungkapkan:

كَانَ أَحَدُهُمَـا لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ، وَكَـانَ اْلآخَرُ يُؤْذِي النَّـاسَ بِلِسَـانِهِ وَيَمْشِي بَيْنَهُمْ بِالنَّمِيمَةِ

Adalah salah satu di antara mereka berdua tidak menjaga dirinya dari air kencing dan yang lainnya menyakiti orang lain dengan lisannya dan selalu mengadu domba orang lain.”[7]

Namimah maknanya adalah, “Membawa berita dari satu kaum ke kaum yang lainnya dengan tujuan untuk menebarkan kejelekan dan mengadu domba mereka. Dia menebarkan fitnah di antara mereka sehingga dialah Nammam (penebar fitnah).”[8]

Salah satu di antara mereka tidak melakukan thaharah yang wajib, yaitu membersihkan dirinya dari air kencing, sedangkan yang lainnya telah melakukan salah satu sebab yang menimbulkan sebuah permusuhan di antara manusia dengan lisannya walaupun dia mengatakannya dengan jujur.

Ini merupakan sebuah ancaman bagi orang yang menebarkan fitnah dengan menimbulkan sebuah permusuhan lewat ungkapan yang tidak benar, bahwa mereka telah melakukan sebuah perbuatan dosa yang sangat besar, sebagaimana dosa yang diakibatkan karena meninggalkan bersuci. Di dalamnya ada sebuah perhatian bahwa orang yang meninggalkan shalat -di mana menyucikan diri dari air kencing merupakan salah satu syaratnya-, maka sesungguhnya dia telah melakukan sebuah perbuatan dosa yang lebih besar lagi.[9]

Di antara salah satu siksaan yang ditampakkan[10] kepada sebagian manusia terhadap orang yang mengakhirkan shalat, melakukan shalat dengan tidak bersuci dan bagi yang menyakiti tetangga adalah sebuah kisah yang diungkapkan oleh ‘Amr bin Dinar, beliau berkata, “Adalah seseorang dari penduduk Madinah ditinggal mati oleh saudarinya, dia mengurus mayit tersebut dan membawanya ke kubur, ketika si mayit telah dikubur dan ia pun kembali kepada keluarganya, dia lupa sebuah bungkusan yang ia bawa ke dalam kuburan. Lalu dia meminta tolong kepada temannya untuk datang ke kuburan, akhirnya mereka berdua menggali kuburan itu dan mendapatkan bungkusan yang ia cari. Dia berkata kepada temannya, ‘Berpalinglah sehingga aku dapat melihat sedang apakah saudariku.’ Lalu dia mengangkat kayu penghalang yang ada di atas lahad dan tiba-tiba saja dia mendapatkan api yang menyala-nyala di dalamnya. Setelah itu dia langsung saja meratakan kuburan tersebut dan kembali kepada ibunya, dia bertanya kepadanya tentang keadaan saudarinya sebelum meninggal, sang ibu menjawab, ‘Dia pernah mengakhirkan shalat sehingga keluar waktunya dan aku kira pada waktu itu dia melakukan shalat tanpa berwudhu’. Dia juga sering mendatangi pintu-pintu rumah tetangga jika mereka sedang tidur, lalu dia menempelkan telinganya di pintu rumah tersebut dan menyebarkan pembicaraan yang dilakukan oleh pemilik rumah.’”[11]

Adapun ungkapan di dalam hadits, “Dan yang lainnya menyakiti orang lain dengan lisannya.” Ini merupakan dalil tentang bahayanya lisan. Menyakiti orang lain dengan lisan adalah dengan kata-kata yang buruk, mencela, ungkapan laknat atau dengan perkataan yang bohong kepada mereka.

Di antara ungkapan sya’ir di dalam masalah ini adalah:

اِحْفَظْ لِسَـانَكَ أَيُّهَا اْلإِنْسَانُ
         لاَ يَلْـدَغَنَّـكَ إِنَّـهُ ثُعْبَـانُ
كَمْ فِي اْلَمقَابِرِ مِنْ قَتِيْلِ لِسَانِهِ
         قَدْ كَانَ هَابَ لِقَاءَهُ الشُّجْعَانُ

Jagalah lisan Anda wahai manusia,
janganlah dia mematukmu karena dia adalah ular.
Berapa banyak penghuni kuburan yang mati karena lisannya,
bahkan seorang satria pun takut menemuinya.

Termasuk ke dalam menyakiti orang lain dengan lisan adalah melantunkan nyanyian dan sya’ir-sya’ir yang buruk, juga yang lainnya dari penyakit lisan yang memberikan dampak negatif kepada orang lain.

Kebanyakan adzab kubur timbul karena air kencing.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Air kencing memiliki kedudukan khusus dalam menimbulkan siksa kubur, yaitu dengan tidak membersihkan diri darinya.”[12]

Di antara yang memperkuat ungkapan tersebut adalah hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Hasanah, beliau mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَمْ تَعْلَمُوْا مَا لَقِيَ صَاحِبَ بَنِي إِسْرَائِيْلَ، كَانُوا إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَوْلُ قَطَعُوْا مَا أَصَابَهُ الْبَوْلُ فَنَهَاهُمْ فَعُذِّبَ فِيْ قَبْرِهِ.

Tidakkah kalian tahu siksa yang menimpa salah seorang dari kalangan Bani Israil, (di dalam ajaran mereka) jika (pakaian) mereka terkena air kencing, maka mereka akan memotong (pakaian) yang terkena air kencing tersebut. Sedangkan dia adalah orang yang telah melarang mereka (untuk melakukan hal itu), akhirnya dia disiksa di dalam kuburnya.”[13]

Diriwayatkan dari Abi Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أَكْثَرُ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَ الْبَوْلِ

Kebanyakan siksa kubur disebabkan oleh air kencing.”[14]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَ الْبَوْلِ، فَتَنَزَّهُوْا مِنْهُ.

Sesungguhnya kebanyakan siksa kubur timbul karena air kencing, maka bersucilah kalian darinya.”[15]

Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اِتَّقُوْا التَّبَوُّلَ، فَإِنَّهُ أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ فِيْ قَبْرِهِ.

Jagalah diri kalian ketika buang air kecil, karena ia adalah sesuatu yang pertama kali akan ditanyakan di dalam kubur.[16]

Qatadah berkata, “Siksa kubur itu berasal dari tiga bagian: ‘Sepertiganya dari mengguncing, sepertiga dari mengadu domba, dan seper tiga dari air kencing.”[17]

Alasan utama adanya pengkhususan adzab kubur karena air kencing dan mengadu domba.
Para ulama banyak mengungkapkan rahasia yang terkandung akan adanya pengkhususan kencing, menggunjing, dan mengadu domba, kenapa ketiga hal ini menyebabkan siksa kubur? Mereka mengungkapkan bahwa kubur adalah persinggahan pertama kali bagi kehidupan akhirat, di dalamnya ada berbagai macam gambaran yang akan di dapatkan pada hari Kiamat berupa siksaan dan pahala. Sedangkan di alam Barzakh, maka diputuskan di dalamnya dua permulaan di atas dan kedua sarananya.

Permulaan shalat adalah bersuci dari hadats (kecil dan besar), dan najis, sedangkan permulaan sebuah pembunuhan adalah mengadu domba dan merusak kehormatan orang lain.

Keduanya merupakan sikap menyakiti orang lain paling ringan, diawali dengan perhitungan lalu siksaan bagi keduanya di alam Barzakh.

Lalu kemaksiatan yang menjadi sebab adanya siksaan pada hari Kiamat ada dua macam : hak Allah dan hak hamba-Nya.

Hak Allah yang akan diputuskan pertama kali adalah shalat.
Hal ini sebagaimana diungkap di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَوَّلُ مَـا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَةُ فَإِنْ صَلُحَتْ صَلُحَ سَـائِرُ عَمَلِهِ وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَـائِرُ عَمَلِهِ.

Amal yang pertama kali akan diperhitungkan dari diri seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalat. Jika ia baik, maka seluruh amalnya pun akan baik dan jika dia jelek, maka seluruh amalnya pun akan jelek.[18]

Hak manusia yang pertama kali akan diputuskan adalah masalah darah (pembunuhan).
Hal ini sebagaimana diungkap dalam sebuah hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحْكَمُ بَيْنَ الْعِبَادِ فِي الدِّمَاءِ

Sesungguhnya perkara yang pertama kali akan diputuskan antara hamba adalah masalah darah (pembunuhan).[19]

[Disalin dari Al-Qabru ‘Adzaabul Qabri…wa Na’iimul Qabri Penulis Asraf bin ‘Abdil Maqsud bin ‘Abdirrahim  Judul dalam Bahasa Indonesia KUBUR YANG MENANTI Kehidupan Sedih dan Gembira di Alam Kubur Penerjemah Beni Sarbeni Penerbit  PUSTAKA IBNU KATSIR]
______
Footnote
[1] Hadits Ibnu ‘Abbas, diriwayatkan oleh al-Bukhari, kitab al-Janaa-iz, bab ‘Adzaabul Qabri minal Ghiibah wan Namiimah (no. 1378) dan Muslim, kitab at-Thahaarah, bab ad-Daliil ‘alaa Najaasatil Baul (no. 292 (111)). Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Albani di dalam Mukhtashar al-Bukhari (I/131), dengan satu perkataan dari semua riwayat al-Bukhari. Dan di sini kami pun menyatakannya sebagaimana yang beliau lakukan.
Haith maknanya adalah kebun.
‘Ashib adalah sebuah pelepah yang belum Jika telah tumbuh daun, maka namanya adalah as-Sa’fah. (Fat-hul Baari (I/381)).
[2] Fat-hul Baari (I/381).
[3] Ma’aalimus Sunan (I/27).
[4] Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/35, 39), Ibnu Majah (no. 349), dan ath-Thayalisi (no. 867). Al-‘Iraqi berkata (III/140), “Bagi Ahmad dan ath-Thabrani dengan sanad yang jayyid”. Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h (I/384) bahwa riwayat Abi Bakrah pada Ahmad dan ath-Thabrani dengan sanad yang shahih. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib (I/66).
[5] At-Targhiib wat Tarhiib (no. 861).
[6] Ihyaa ‘Uluumuddin (III/152, 153) dan al-Adzkaar, hal. 522, karya an-Nawawi.
[7] Ibnu Hibban dalam Shahiihnya (no. 140 –Mawaarid). Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh di dalam kitab Fat-hul Baari (I/385).
[8] An-Nihaayah fi Ghariibil Atsar (V/120).
[9] Ar-Ruuh, hal. 104.
[10] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan di dalam Majmuu’ al-Fataawaa (IV/296), “Sungguh telah ditampakkan bagi kebanyakan manusia hal tersebut hingga mereka mendengar suara-suara para mayit yang diadzab di kubur mereka. Dan mereka melihat para mayit dengan mata kepala sendiri bahwa para mayit diadzab di kubur mereka melalui tanda-tanda yang telah diketahui.”
[11] Kisah ini diungkapkan oleh Ibnul Qayyim di dalam kitabnya ar-Ruuh, hal. 91, beliau menghubungkan kisah ini kepada Ibnu Abid Dun-ya di dalam kitab al-Qubuur, sedangkan Ibnu Rajab menghubungkannya di dalam kitab Ahwaalul Qubuur, 985 kepada Ibnu Abid Dun-ya di dalam kitab Man ‘Aasya Ba’dal Maut.
[12] Fat-hul Baari (I/381).
[13] Hadits shahih. Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (I/26, 28), Ibnu Majah (no. 346), Ibnu Hibban (no. 139 –Mawaarid). Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahiih at-Targhiib (I/156).
[14] Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad (II/326), Ibnu Majah (no. 348) dengan lafazh beliau, al-Baihaqi (II/412), ad-Daruqutni (I/128), beliau berkata, “Hadits ini shahih.” Al-Hakim (I/183), beliau berkata, “Shahih dengan perawi asy-Syaikhani, dan aku tidak tahu adanya ‘illat di dalam hadits ” Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahiih at-Targhiib (I/155).
[15] Hadits shahih. Diriwayatkan oleh al-Bazzar (no. 243 –Kasyful Astaar), ad-Daruquthni (I/128), beliau berkata, “La ba-sa bihi (hadits itu tidak ada cacatnya).” Al-Hafizh di dalam kitab Talkhiishul Habiir (I/106) berkata, “Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid di dalam Musnadnya, al-Hakim, at-Thabrani, dan yang lainnya dengan sanad yang hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Targhiib (I/152).
[16] Hadits hasan. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (I/127), beliau berkata, “Yang terjaga bahwa hadits itu mursal.” Al-Hafizh berkata di dalam kitab Talkhiishul Habiir (I/106). Dinukil dari Abi Zur’ah, bahwa hadits tersebut terjaga. Dan Abu Hatim berkata, ‘Kami telah meriwayatkannya dari hadits Tsumamah, dari Anas dan yang shahih adalah yang statusnya mursal.’” Dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib (I/153).
[17] Al-Baihaqi di dalam kitabnya, Istbaat ‘Adzaabil Qabri (no. 261), Ibnu Abi Dunya di dalam kitab as-Shamt (no. 189). Diriwayatkan dari jalan Qatadah, dari Sa’id bin Musayyab, dari Abi Hurairah secara marfu’ oleh al-Baihaqi di dalam kitab Istbaat ‘Adzaabil Qabri (no. 262). Al-Baihaqi berkata, “Yang shahih adalah riwayat Abi ‘Urubah dari perkataan Qatadah.” Ibnu Rajab di dalam kitabnya, Ahwaalul Qubuur, hal. 65 ber-kata, “Diriwayatkan oleh Khalal dari Qatadah dan ini adalah riwayat paling shahih.”
[18] Hadits shahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 413), an-Nasa-i (I/232), dan Ibnu Majah (no. 232). Hadits ini dishahih-kan oleh al-Albani di dalam Shahiih at-Targhiib (I/185).
[19] Al-Bukhari, kitab ad-Diyaat, bab firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam.” (no. 6864), dan Muslim, kitab al-Qasamah, bab al-Mujaazaah bid Dimaa’ fil Aakhirah (no. 1678 (28)).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/45440-tidak-bersuci-dari-air-kencing-namimah-ghibah-dan-menyakiti-orang-lain-dengan-lisan.html